March 22, 2013

Satu Lawan Banyak


 Satu Lawan Banyak




“Siapa yaaaaaaa??? Kayaknya ada yang ngomong ke kita deehhhh,”


Nggak tau tuh! Kayaknya monyet!”

Vicky terdiam. Pindah ke sekolah baru pada kelas 2 SD, gadis kecil berwajah bule ini kesulitan mendapatkan teman baru, ditambah lagi teman-teman di sekolah baru yang menjauhinya.

Gue dijauhin gara-gara nyokap kenal sama tante kantin,” kata Vicky yang sekarang sudah duduk di bangku perguruan tinggi. “Karena nyokap kenal tante kantin, jadinya gue kalau bayar pakai sistem kasbon. Dicatet per bulan sama si tante, terus dibayar sekalian di akhir bulan sama nyokap. Nah, anak-anak yang lain pada ngirain gue gratis kalo makan di kantin.”

Sejak saat itu, teman-teman Vicky tidak mau menemaninya bila ia tidak membayari jajanan mereka di kantin. Vicky yang tidak mau sendirian pun menuruti keinginan geng yang berisi enam orang gadis cilik dengan umur rata-rata tujuh tahun itu. “Mereka minta jajan setiap saat. Pas gue baru dateng, pas istirahat, dan pas pulang. Menang suit pun minta dijajanin,” ujarnya jengkel.

Kasbon di bulan itu membludak hingga Rp. 300.000.

“Nyokap ngamuk. Bokap juga ngamuk. Dia bilang, ‘Kamu sekolah itu buat cari ilmu, bukan buat cari temen! Nggak apa-apa kalau nggak punya temen!’ Jadilah gue nggak punya temen sampai lulus SD,” katanya dengan cengiran di wajah. “Ada sih satu temen cowok pas kelas lima, dia jadi temen pertama sekaligus pacar pertama gue,” lanjutnya dengan cengiran yang semakin lebar.

“Pernah juga pas kelas tiga, gue lagi naruh tangan di pintu, ada yang ngebanting pintunya. Kejepit kan. Gue nangis. Malah dikata-katain terus, gue dibilang cengeng dan tukang ngadu. Padahal guru yang nanya kenapa gue nangis, bukan gue yang ngadu sambil nangis-nangis.”

Bullying atau perundungan banyak dialami oleh pelajar di Indonesia. Tidak hanya secara fisik, perundungan juga dapat berupa penindasan mental. Biasanya si korban tidak sadar bahwa ia sedang ditindas secara mental, padahal, menjauhi, menyindir, memanggil nama orang dengan panggilan yang tidak pantas, mempermalukan orang di depan umum dan mengucilkan juga merupakan bentuk perundungan.

Niken juga mengalami hal yang mirip dengan Vicky, sampai lulus SD, teman-teman di sekolahnya terus menyebutnya Dora karena rambut pendeknya. “Dibilang gendut jelek lah, Dora lah, kalau maju pas disuruh guru ngerjain soal di depan kelas, pada teriak, ‘Emang si Dora bisa?’” katanya dengan getir.

Pada kelas 3 sekolah dasar, Niken menderita hepatitis selama satu bulan, ia mengalami susah makan, sehingga dokter memberinya obat penambah napsu makan. Sayangnya, napsu makannya malah menjadi berlebihan, sehingga tubuhnya pun menggendut. Hepatitis juga membuatnya ketinggalan pelajaran. “Jadi tuh gue udah ansos, gendut, terus bego karena gue ketinggalan pelajaran. Nilai gue jelek dan gue nggak punya temen.”

Tertekan. Malas sekolah dan selalu ingin cepat pulang terus dirasakan oleh Niken selama ia bersekolah. “Pokoknya, gue tuh sekolah cuma untuk lulus. Nggak ada tuh main sama temen-temen di sekolah,” katanya sambil manyun.

Ketika memasuki masa SMP, Vicky dan Niken mengalami kesulitan mencari teman karena mereka berdua belum pernah merasakan memunyai teman selama di sekolah dasar. “Kalau ada yang ngajak ngobrol, gue bingung. Gue harus jawab apa, gue harus gimana. Ujung-ujungnya gue nggak punya temen lagi. Baru pas SMA gue bisa punya banyak temen,” kata Vicky.

Niken merasakan keraguan ketika ingin memulai pertemanan karena ia takut kembali mengalami kejadian yang sama seperti di sekolah dasar dulu. “Takut sama orang-orang yang nggak nerima gue apa adanya kayak temen-temen gue di SD dulu. Mereka ngeliat gue cuma dari fisik gue aja, sedangkan mereka nggak tahu gue yang sebenarnya itu gimana.”

Di mana ada korban, pasti ada pelaku. Pelaku perundungan biasanya berkelompok dan mereka menindas orang yang lebih lemah atau kedudukannya dianggap lebih rendah dibanding mereka.

Pada saat memasuki kelas tiga SMP, Pipit dan gengnya gemar melakukan perundungan kepada adik kelasnya hanya untuk bersenang-senang. “Biasa aja kok, paling dorong-dorongan, ngejambak, ngebuang tasnya ke got, ngegantungin tasnya di tiang bendera atau tiang basket. Nggak parah,” kata gadis berkulit gelap ini santai. “Kita labrak anak yang tengil, yang banyak gaya, ngomong nggak sopan sama kita, biasanya sih yang ngelunjak yang jadi panjang (masalahnya).”

“Pernah ada yang sampai pindah sekolah padahal nggak diapa-apain, cuma disangkutin doang tasnya di tiang basket,” ujarnya sambil mengangkat bahu. “Rasanya seneng setelah ngelabrak, seneng pas ramai-ramai segeng berdua-puluh orang dipanggil ke ruang BP untuk diceramahin. Rasanya tuh persahabatan kita jadi makin solid,” katanya dengan senyum terkembang.

Dibalik rasa senang yang didapatkan oleh pelaku perundungan, korban yang dijadikan target tentunya merasakan yang sebaliknya.

Gue iri, anak lain tuh punya temen baik. Gue kemana-mana sendiri, ke kantin juga sendiri. Gue jadi nggak pede juga. Emangnya salah gue apa sih sampai gue digituin,” kata Niken sedih. “Untungnya, gue sekarang sudah bisa move on. Walaupun tetap hati-hati kalau cari temen, jangan sampai keulang lagi deh masa-masa pas gue dibully dulu,” ujarnya dengan senyum kecil.

1 comment: