Satu Lawan Banyak
“Siapa yaaaaaaa??? Kayaknya ada yang ngomong ke kita deehhhh,”
“Nggak
tau tuh! Kayaknya monyet!”
Vicky
terdiam. Pindah ke sekolah baru pada kelas 2 SD, gadis kecil berwajah bule ini kesulitan
mendapatkan teman baru, ditambah lagi teman-teman di sekolah baru yang
menjauhinya.
“Gue dijauhin
gara-gara nyokap kenal sama tante
kantin,” kata Vicky yang sekarang sudah duduk di bangku perguruan tinggi.
“Karena nyokap kenal tante kantin,
jadinya gue kalau bayar pakai sistem
kasbon. Dicatet per bulan sama si
tante, terus dibayar sekalian di akhir bulan sama nyokap. Nah, anak-anak yang lain pada ngirain gue gratis kalo makan di kantin.”
Sejak
saat itu, teman-teman Vicky tidak mau menemaninya bila ia tidak membayari
jajanan mereka di kantin. Vicky yang tidak mau sendirian pun menuruti keinginan
geng yang berisi enam orang gadis cilik dengan umur rata-rata tujuh tahun itu.
“Mereka minta jajan setiap saat. Pas gue
baru dateng, pas istirahat, dan pas pulang. Menang suit pun minta dijajanin,”
ujarnya jengkel.
Kasbon
di bulan itu membludak hingga Rp. 300.000.
“Nyokap
ngamuk. Bokap juga ngamuk. Dia bilang, ‘Kamu sekolah itu
buat cari ilmu, bukan buat cari temen!
Nggak apa-apa kalau nggak punya temen!’
Jadilah gue nggak punya temen sampai lulus SD,” katanya dengan
cengiran di wajah. “Ada sih satu temen
cowok pas kelas lima, dia jadi temen pertama sekaligus pacar pertama gue,” lanjutnya dengan cengiran yang
semakin lebar.
“Pernah
juga pas kelas tiga, gue lagi naruh tangan di pintu, ada yang ngebanting pintunya. Kejepit kan. Gue nangis. Malah dikata-katain terus, gue
dibilang cengeng dan tukang ngadu.
Padahal guru yang nanya kenapa gue nangis,
bukan gue yang ngadu sambil nangis-nangis.”
Bullying atau
perundungan banyak dialami oleh pelajar di Indonesia. Tidak hanya secara fisik,
perundungan juga dapat berupa penindasan mental. Biasanya si korban tidak sadar
bahwa ia sedang ditindas secara mental, padahal, menjauhi, menyindir, memanggil
nama orang dengan panggilan yang tidak pantas, mempermalukan orang di depan
umum dan mengucilkan juga merupakan bentuk perundungan.
Niken
juga mengalami hal yang mirip dengan Vicky, sampai lulus SD, teman-teman di
sekolahnya terus menyebutnya Dora karena rambut pendeknya. “Dibilang gendut
jelek lah, Dora lah, kalau maju pas disuruh guru ngerjain soal di depan kelas, pada teriak, ‘Emang si Dora bisa?’” katanya dengan getir.
Pada
kelas 3 sekolah dasar, Niken menderita hepatitis selama satu bulan, ia
mengalami susah makan, sehingga dokter memberinya obat penambah napsu makan.
Sayangnya, napsu makannya malah menjadi berlebihan, sehingga tubuhnya pun menggendut.
Hepatitis juga membuatnya ketinggalan pelajaran. “Jadi tuh gue udah ansos,
gendut, terus bego karena gue ketinggalan pelajaran. Nilai gue jelek dan gue nggak punya temen.”
Tertekan.
Malas sekolah dan selalu ingin cepat pulang terus dirasakan oleh Niken selama
ia bersekolah. “Pokoknya, gue tuh
sekolah cuma untuk lulus. Nggak ada tuh main sama temen-temen di sekolah,” katanya sambil manyun.
Ketika
memasuki masa SMP, Vicky dan Niken mengalami kesulitan mencari teman karena
mereka berdua belum pernah merasakan memunyai teman selama di sekolah dasar. “Kalau
ada yang ngajak ngobrol, gue bingung.
Gue harus jawab apa, gue harus gimana. Ujung-ujungnya gue nggak punya temen lagi. Baru pas SMA gue
bisa punya banyak temen,” kata Vicky.
Niken
merasakan keraguan ketika ingin memulai pertemanan karena ia takut kembali
mengalami kejadian yang sama seperti di sekolah dasar dulu. “Takut sama
orang-orang yang nggak nerima gue apa
adanya kayak temen-temen gue di SD
dulu. Mereka ngeliat gue cuma dari
fisik gue aja, sedangkan mereka nggak tahu gue yang sebenarnya itu gimana.”
Di
mana ada korban, pasti ada pelaku. Pelaku perundungan biasanya berkelompok dan
mereka menindas orang yang lebih lemah atau kedudukannya dianggap lebih rendah
dibanding mereka.
Pada
saat memasuki kelas tiga SMP, Pipit dan gengnya gemar melakukan perundungan
kepada adik kelasnya hanya untuk bersenang-senang. “Biasa aja kok, paling dorong-dorongan, ngejambak, ngebuang tasnya
ke got, ngegantungin tasnya di tiang
bendera atau tiang basket. Nggak parah,”
kata gadis berkulit gelap ini santai. “Kita labrak anak yang tengil, yang banyak gaya, ngomong nggak sopan sama kita, biasanya
sih yang ngelunjak yang jadi panjang
(masalahnya).”
“Pernah
ada yang sampai pindah sekolah padahal nggak
diapa-apain, cuma disangkutin doang tasnya di tiang basket,” ujarnya
sambil mengangkat bahu. “Rasanya seneng
setelah ngelabrak, seneng pas ramai-ramai segeng berdua-puluh
orang dipanggil ke ruang BP untuk diceramahin.
Rasanya tuh persahabatan kita jadi
makin solid,” katanya dengan senyum terkembang.
Dibalik
rasa senang yang didapatkan oleh pelaku perundungan, korban yang dijadikan
target tentunya merasakan yang sebaliknya.
“Gue iri, anak lain tuh punya temen baik. Gue kemana-mana sendiri, ke kantin juga sendiri. Gue jadi nggak pede juga. Emangnya
salah gue apa sih sampai gue digituin,”
kata Niken sedih. “Untungnya, gue
sekarang sudah bisa move on. Walaupun
tetap hati-hati kalau cari temen, jangan
sampai keulang lagi deh masa-masa pas
gue dibully dulu,” ujarnya dengan senyum kecil.
:'D
ReplyDelete