May 2, 2013

Melihat Masa Depan

Melihat Masa Depan

Pengunjung tidak banyak datang ke mal di hari kerja. Hanya beberapa orang berlalu lalang di mal yang terletak di kawasan Alam Sutera itu, dan kebanyakan dari mereka hanya melintas sekilas di depan stand tersebut, satu dua orang terdiam untuk membaca banner di depan meja stand, kemudian berlalu. Tertera “Fortune Teller” dengan huruf yang tercetak besar berwarna hitam-kuning di bagian paling atas banner berwarna merah tersebut. Pada latar belakang banner, terdapat gambar bola kristal yang biasa digunakan oleh peramal. 

Hari itu, Selasa, Graham Wiratama atau yang lebih akrab dipanggil Ata bertugas sebagai tarot reader bersama dengan temannya, Randy. Saya menunggu mereka dengan duduk di bangku yang tersedia di stand itu dari jam empat sore sampai jam enam karena mereka sedang ada janji dengan klien di lantai atas.

Ata bergaya semi formal, dengan kaos polo putih bergaris hitam, ditutup dengan jas hitam, dan menggunakan celana berwarna hitam, juga dengan ikat kepala dengan warna yang sama, tapi dia menggunakan sandal kulit yang biasa dipakai bapak-bapak sebagai alas kaki. Tubuhnya kurus tinggi, dengan warna kulit sawo matang. Penampilan dan rupanya sedikit mengingatkan saya akan Yuke, bassis band Dewa. Namun, Ata menggunakan kacamata hitam berbingkai separo.

Pada 2011, Ata mendirikan Eye Management. Eye Management adalah salah satu manajemen yang berisi tarot readers di Indonesia. Pembaca tarot sebetulnya tidak mau dibilang peramal, karena mereka tidak bisa memprediksi dengan tepat bagaimana kejadian yang akan terjadi di masa depan atau menerka masalah yang ada seperti layaknya dukun. “Orang Indonesia tuh susah. Mau enggak mau kita tetap bilang ramalan, karena mereka belum familiar dengan istilah tarot reader,” keluh Ata. 

Membaca tarot adalah menggunakan pendekatan psikologis dan lebih bersifat konsultasi. Klien datang membawa masalah, lalu pembaca tarot akan meminta klien memilih beberapa kartu—tergantung dari pertanyaan—dan mencari solusi dari masalah tersebut melalui kartu yang telah dipilih oleh klien. 

“Kami tuh kayak tong sampah. Klien datang bawa masalah dan bruk! Dituang deh ke kami (pembaca tarot).” kata Ata sambil kedua tangannya memperagakan orang yang sedang menumpahkan isi tong sampah.
Pria yang berasal dari Semarang ini merupakan lulusan D3 sastra inggris UNDIP.  Sempat bekerja sebagai penyiar, Ata merasa penampilan dirinya kurang menarik bila dibandingkan dengan teman-temannya sesama penyiar. 

“Teman-teman penyiar penampilannya kayak artis. Walaupun cuma artis lokal Semarang sih... Tapi yang cowok ganteng-ganteng dan yang cewek cantik-cantik. Gue jadi mikir, what can I sell dengan penampilan gue yang kayak gini.”

Saat berjalan-jalan ke Gramedia di tahun 2003, Ata melihat stand sulap. Ia melihat-lihat dan merasa tertarik. “Tapi alat-alat sulap mahal, jadinya enggak beli,” ujarnya. Kemudian, ia melihat setumpuk kartu dengan berbagai macam gambar dan kembali merasa tertarik. Setelah bertanya-tanya kepada si penjaga stand tentang kartu yang ternyata adalah tarot, ia memutuskan untuk membelinya. “Ada kartunya, buku manual, dan dvd. Belajarnya dari dvd itu.”

Namun, ia sempat melupakan tarot karena kartu serta buku manualnya hilang entah kemana. Selama satu tahun setelah ia berhenti menjadi penyiar, pria yang lahir dan tumbuh di Semarang ini bekerja serabutan. Mulai dari sales, bekerja di kehidupan dunia gemerlap, sampai jadi manager band yang sudah keliling Indonesia. Merasa lelah dengan pekerjaan sebagai manager band, Ata mulai mencari pekerjaan kantoran, tapi tak kunjung dapat. 

Setelah hampir satu tahun menganggur, tiba-tiba kartu tarot yang sempat hilang itu muncul dengan sendirinya di meja belajarnya di kamar. “Agak sedikit mistik sih, pasti ada reasonnya karena gue percaya enggak ada yang kebetulan di dunia ini. Kejadian hilangnya juga sama, tiba-tiba hilang begitu saja dan enggak ada orang rumah yang nyentuh.”

“Padahal awalnya pas hilang gue mengira nyokap yang enggak setuju, karena nyokap kerja di departemen agama. Gue dibilang menyekutukan Tuhan, musryik, syirik, apa lah itu segala macamnya,” ujarnya sambil tertawa.

Tarot berasal dari Italia. Pada awalnya, permainan kartu tersebut bernama Carde da Trionfi, atau Kartu Kejayaan (Trionfi: berjaya atau menang) dan sampai saat ini permainan tarot masih terkenal di Eropa. Kartu tarot berjumlah 78 lembar yang umumnya digunakan untuk kepentingan spiritual atau ramalan nasib. 22 kartu disebut Arcana Mayor dan 56 kartu disebut Arcana Minor. Set Tarot yang paling populer adalah Tarot Rider-Waite-Smith yang diciptakan oleh A.E Waite dan ilustrator Pamela Colman Smith. 

Ata mulanya hanya menjadi tarot kaki lima dan berkeliling Semarang dari tahun 2006 sampai 2007. Ia menggelar lapak di kaki lima untuk membaca tarot. Saat itu bayarannya hanya Rp. 5.000 per pertanyaan. 

Akhirnya, ia bertemu dengan para pembaca tarot lainnya di suatu acara di kafe pada tahun 2007. Mulailah ia menekuni pembaca tarot sebagai profesi yang serius setelah belajar lebih lanjut mengenai tarot. 

Ibu dan ayah Ata yang keduanya bekerja di instansi pemerintahan tidak setuju dengan pekerjaan Ata sebagai pembaca tarot. Kedua orangtuanya berharap Ata akan bekerja sebagai PNS seperti mereka. 


Ata yang sedang bertugas di stand yang berada di acara bazaar Living World, Alam Sutera

“Orangtua mulai enggak komentar lagi ketika gue kerja sebagai tarot reader di website tarot yang berbasis di US. Sistemnya, klien mengirimkan masalahnya via email. Per satu email yang kita dibayar US$ 30.000,” kata pria berusia 30 tahun ini dengan senyum lebar. 

Menurut Randy, temannya sesama pembaca tarot, Ata adalah pria yang hebat karena ia baru datang ke Jakarta pada tahun 2011 tapi dengan usaha dan perjuangannya, dalam waktu setahun ia sudah sukses sebagai pembaca tarot. “Dalam waktu setahun ia sudah punya banyak events, sedangkan teman-teman lainnya yang sudah menekuni profesi ini sejak lama, masih begitu-begitu saja. Saya juga senang sama Ata karena dia orangnya blak-blakan, kalo enggak suka ya dia bilang. Enggak ngomongin orang di belakang. Tapi dia juga enggak pelit pujian kalo dia suka.”

Dunia tarot juga mengantarkan Ata untuk bertemu pasangan hidupnya. Mereka bertemu di klub tarot dan menikah pada 11 September 2011. Kini mereka telah memiliki seorang anak perempuan berusia 8 bulan.

Banyak pengalaman-pengalaman lucu yang dihadapi oleh Ata selama menjadi pembaca tarot dan semuanya berhubungan dengan klien-kliennya. Dari mulai yang selingkuh, sampai klien yang ternyata penyuka sesama jenis. 

“Orangnya kekar, gede banget badannya. Eh pas sudah duduk, dia bisik-bisik, ‘Mas, gimana nih hubungan gue sama cowok gue’,” katanya meniru sambil tertawa mengingat kejadian itu. 

Masalah yang selalu dialami Ata adalah ketika klien merasa ketergantungan dan mendewakan tarot. Klien merasa apa pun yang mereka lakukan, harus dilihat bagaimana keadaan kartunya terlebih dahulu. “Ada bapak-bapak nelpon, ‘Mas Ata, saya lagi di Carefour, di depan saya ada tivi LG dan Samsung. Saya harus beli yang mana ya? Coba buka kartunya dulu’,” tiru Ata dengan jengkel. “Karena sudah sebal, gue asal saja ngomong, gue suruh beli dua-duanya. Eh benaran lho dibeli dua-duanya,” katanya sambil memutar bola matanya. 

Pada awal Ata menjalani profesi ini pun ia sempat memanfaatkannya dengan cara memacari klien-klien wanitanya. “Kalau yang cantik-cantik, gue deketin, terus jadi pacaran. Sekarang sih sudah enggak,” kata pria yang senang mengobrol ini sambil tertawa.

Tidak diduga, pendapatan para pembaca tarot sangat besar. Apalagi bila mereka mendapat klien yang meminta dibaca secara pribadi. Tarif perjamnya adalah Rp. 500.000 untuk satu orang. Dalam sebulan, rata-rata mereka bisa mendapatkan Rp. 15.000.000 dan minimal Rp. 1.000.000 per hari bila membuka stand di mal atau di kampus-kampus. 

“Di profesi ini, gue jadi bisa belajar banyak tentang orang. Ternyata sifat dan pengalaman orang tuh macam-macam bahkan banyak yang aneh. Dari curhatan-curhatan mereka, gue juga jadi bisa ikut belajar.”
Saat ditanya mengenai kegiatan lain selain menjadi pembaca tarot, ia dan Randy tertawa dan mengatakan bahwa ia hanya menjalani pekerjaan sebagai pembaca tarot. “Kita sih pengacara. Pengangguran banyak acara,” candanya sambil tertawa terbahak. 

Banyak orang terutama pebisnis, ibu-ibu, dan remaja yang menyukai tarot. Bahkan sampai terlalu mempercayainya dan menjadikannya pedoman dalam menjalani hidup. Namun, Ata tidak setuju akan hal itu. “Pokoknya jangan pernah menggantungkan nasib di tarot. Kita (pembaca tarot) cuma bisa melihat kesempatan atau perubahan yang kemungkinan akan terjadi di kehidupan klien. Tapi, pada akhirnya, nasib mereka harus tetap mereka yang menentukan dengan kerja keras dan tetap berdoa kepada Tuhannya masing-masing,” tukas Ata tegas.

+++
sumber sejarah singkat Tarot: http://id.wikipedia.org/wiki/Kartu_Tarot

No comments:

Post a Comment