February 28, 2013

Make a Difference

Make a Difference





Puluhan orang berjalan beriringan membawa 49 peti mati sambil berteriak-teriak, mereka juga hendak melempar peti mati tersebut melewati gerbang gedung parlemen. Seorang pria diantara mereka pun maju ke depan gerbang dan berteriak ke arah demonstran, “Jangan lempar peti matinya!”

Massa mengacuhkannya dan terus berteriak-teriak. Si pria tampak lelah mengatur massa sebanyak itu, kemudian ia kembali berbicara kepada demonstran, kali ini menggunakan toa sebagai pengeras suara. “Kita datang untuk meninggalkan peti mati-peti mati ini di depan gerbang. Jangan lempar peti matinya, tidak perlu ada kekerasan. Kita akan memperbaiki situasi dengan pilihan kita. Kita bukanlah orang yang brutal. Kita tidak kasar. Kita ingin revolusi pemungutan suara yang damai.”

Boniface Mwangi, foto jurnalis yang pernah secara langsung menyaksikan kekacauan di Kenya, sekarang berjuang sebagai aktivis. Dia dengan mantap memimpin massa yang berbondong-bondong melakukan demonstrasi menuju gedung parlemen. Ia sempat kewalahan mengatur orang-orang yang berjalan dengan terlalu cepat dan berteriak mengenai ketidakadilan parlemen, juga tentang hak-hak yang seharusnya mereka peroleh. Padahal, pria berusia 29 tahun ini menginginkan demonstrasi damai tanpa kericuhan. 

Sehari sebelumnya, Boniface dan timnya menyiapkan 49 peti mati di halaman belakang rumahnya. 49 peti mati tersebut mewakili kekebalan hukum yang dinikmati oleh politisi sejak kemerdekaan. Masing-masing peti mati berwarna hitam tersebut bertuliskan skandal di dalam sejarah Kenya. 

Boniface muak dengan kepemimpinan Mwai Kibaki sebagai presiden Kenya. Sudah terlalu banyak perbuatan tercela yang terjadi dalam masa pimpinan Kibaki; pembunuhan, perampasan lahan, penjarahan, korupsi, dan perkosaan. Parlemen yang mestinya berjuang untuk rakyat, malah merampas kebahagiaan rakyat dengan kejahatan yang mereka lakukan. 

Sebelum melakukan demonstrasi di gedung parlemen dengan peti mati, Boniface dan teman-temannya juga sempat melakukan aksi ilegal, yaitu menggambar grafiti yang dibuat di dinding. 

Aksi grafiti pertama dibuat pada malam hari pukul 22.00 oleh lima orang pelukis grafiti. Mereka kekurangan alat, hanya terdapat satu tangga untuk lima orang. Namun walaupun mereka hanya memunyai satu tangga, mereka tetap bertekad membuat grafiti.

Dengan waktu yang terbatas, mereka pergi menggunakan mobil menuju pusat Nairobi berbekal kaleng-kaleng cat pilok, mesin proyektor, dan satu tangga.  Mereka memulai melukis grafiti menggunakan pilok setelah proyektor menampilkan desain yang telah mereka buat sebelumnya.

Tujuan Boniface membuat grafiti di tempat yang akan dilalui oleh banyak orang adalah untuk menyadarkan mereka tentang situasi yang selama ini terjadi. “Kenya adalah salah satu negara terindah di dunia, tapi orang Kenya pengecut. Kita mengeluh tentang korupsi, kekebalan hukuman, perampasan lahan, tapi kita tidak berbuat apa-apa. Jadi, kita tinggalkan zona nyaman kita untuk melanggar hukum dan menunjukan kebenaran,” ujar Boniface mantap.

Pada grafiti tersebut, parlemen dilambangkan sebagai burung pemakan bangkai yang nyaman duduk di singgasana dan dengan lahapnya merampas hak-hak rakyat, namun burung bangkai tersebut tetap santai karena para idiot akan tetap memilih mereka. Selain burung bangkai, grafiti itu juga bertuliskan kualifikasi pemimpin yang diinginkan rakyat Kenya.

Orang-orang yang lewat pun terhenti untuk melihat grafiti tersebut. Banyak dari mereka yang tertegun, juga tertawa nyinyir melihatnya karena mereka tahu semua yang terdapat pada grafiti itu adalah fakta. Terutama pada bagian ‘para idiot akan tetap memilih’. Mereka sadar bahwa mereka lah orang-orang idiot itu.

Seminggu kemudian, grafiti ilegal itu menjadi berita nasional. Boniface sebagai orang yang bertanggung jawab atas grafiti tersebut dipanggil ke kantor polisi, ia pun mengajak orang-orang untuk mendukung pelukis-pelukis grafiti yang dengan berani menggambarkan keadaan Kenya dengan sebuah seni. Dengan banyaknya dukungan, ia pun bebas dari hukuman.

Selain grafiti, Boniface juga membuat pameran dari foto-foto jurnalistiknya yang berhasil menangkap kekacauan di Kenya. Ia membuat pameran itu dengan tujuan untuk membangkitkan kemarahan rakyat Kenya akan kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh para burung bangkai. Pro dan kontra terus ada selama pameran berlangsung. Sampai akhirnya pameran foto Boniface dilarang untuk berdiri karena terdapat foto presiden yang sedang menangis. Foto itu dianggap terlalu sensitif dan sudah keterlaluan.

Demonstrasi menggunakan 49 peti mati adalah aksi terbesar yang dilakukan oleh Boniface. Sesuai rencana, massa meletakkan peti mati di depan gerbang gedung parlemen. Namun, 15 menit setelah bubar. Semua peti mati diangkat oleh petugas.

Boniface siap kecewa. Tindakan yang mereka lakukan mungkin tidak akan memengaruhi apapun. Namun mereka tidak kehilangan harapan karena perubahan tidak terjadi hanya dalam jangka waktu semalam. “Mungkin yang saya lakukan sekarang akan diselesaikan oleh anak saya,” kata Boniface.

Pria berkulit hitam ini juga mengatakan bahwa mantra hidupnya telah berubah. “Saya merubah mantra hidup saya. Dulu, mantra saya adalah saya melihat hidup melalui lensa kamera. Sekarang, mantra hidup saya adalah saya hidup untuk membuat perubahan.” Perubahan yang dilakukan Boniface adalah untuk negara yang sangat ia cintai, Kenya.

No comments:

Post a Comment