May 2, 2014

Bergaji Pahala



Bergaji Pahala


Apa sih yang gratis sekarang ini? Kencing saja bayar! Sudah tidak ada lagi yang cuma-cuma. Mungkin sebagian orang akan bilang munafik, bahkan bodoh, bila ada orang yang mengatakan dirinya rela bekerja tanpa digaji. Untuk apa bekerja tanpa digaji? Apa untungnya? Bila pertanyaan seperti itu dilontarkan, Wiwiek akan tegas menjawab, “Saya bekerja dengan niat baik.”

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Teratai yang berlokasi di Pinang, Tangerang, berdiri pada Januari 2012 atas perintah Diknas Provinsi yang mengatakan bahwa setiap rukun warga (RW) harus memunyai PAUD. Tanpa bermodalkan apa-apa selain niat dan kenekatan—juga perintah Diknas—ibu-ibu pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK) mendirikan PAUD Teratai yang pada mulanya bernaung di posyandu.


PAUD Teratai

Ruang kelas bernuansa biru dan merah dengan gambar kereta api berwarna-warni ini berukuran kurang lebih 4x6 meter. Tujuh bangku kecil berwarna kuning dan putih mengelilingi meja bulat separo dengan satu bangku warna biru untuk guru yang terletak di balik meja.

Hari itu hanya 10 anak yang hadir. Bila semua masuk, harusnya ada 16 anak yang duduk di bangku-bangku kecil itu. Sepuluh anak ini datang dari berbagai kalangan. Hampir semua berekonomi kurang. Anak tukang becak, tukang cuci, tukang ojek, sampai anak pengemis bermain sambil belajar di sini. 


Ruang belajar. Masing-masing guru mengajar 5-6 anak.


Tidak seperti sekolah pada umumnya, PAUD Teratai tidak memulai kegiatan dengan berdoa, tapi dengan melakukan kegiatan yang mereka sebut jurnal pagi. Jurnal pagi adalah kegiatan menggambar berdurasi 15 menit. Mereka bebas menggambar apapun yang mereka lihat selama perjalanan dari rumah ke sekolah dengan tujuan membangkitkan kesadaran anak pada hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Satu anak bawel bernama Lingga hobi menggambar pocong setiap harinya, namun tumben, hari ini ini ia mengatakan bahwa gambarnya adalah permen. Yah... walaupun ‘permen’ itu berbentuk tiga bulatan tidak sama besar ke bawah yang lebih menyerupai pocong yang terikat.

“Kemarin aku nonton film setan! Sereemm!” celetuk anak lelaki gembul sambil terus asyik menggambar kereta api yang gerbong-gerbongnya tidak tersambung satu sama lainnya. 


Wiwiek berinteraksi dengan anak-anak sambil menggambar jurnal pagi

Ani dan Wiwiek ikut menggambar bersama anak-anak sembari menyauti celetukan-celetukan mereka. Hanya dua guru yang mengajar di kelas PAUD pada jam 9 pagi, sedangkan ada 8 orang guru lainnya yang mengajar kelas TK A dan TK B setelah kelas PAUD usai.

Setelah jurnal pagi, kegiatan dilanjutkan dengan menyanyikan yel-yel sambil menggoyangkan pinggul ke kiri dan ke kanan,

(Tepuk 3x) Aku
(Tepuk 3x) Anak PAUD
(Tepuk 3x) Teratai
(Tepuk 3x) Pinang
(Tepuk 3x) Paling oke
(Tepuk 3x) YES!

Barulah anak-anak duduk melingkar dan berdoa bersama. Tidak terdapat istirahat makan di kelas PAUD karena durasi yang hanya dua jam. Sehabis berdoa, kegiatan biasanya diisi dengan menggambar, mewarnai, melipat, dan menggunting. Kali ini aktifitas yang dilakukan adalah menjiplak bentuk. Anak-anak diberikan berbagai bentuk buah dan binatang untuk dijiplak, diwarnai, dan digunting. Setelah Ani memberi contoh bagaimana cara melakukannya, mereka pun mulai asyik menjiplak. Tangan-tangan yang tidak terbiasa nampak kaku menggunting bentuk-bentuk itu. Kebanyakan dari mereka jadi tak keruan lagi bentuknya.

“Di rumah mereka tidak pernah seperti ini. Bahkan memegang gunting saja tidak pernah,” ujar Wiwiek yang merasa tiga hari pertemuan dalam waktu seminggu berdurasi dua jam perhari sangatlah kurang. Waktu yang mereka gunakan untuk belajar sambil bermain di PAUD akan percuma bila kondisi rumah tidak mendukung perkembangan mereka. “Paling susah anak-anak yang pendiam dan susah diajak bicara, biasanya mereka diam dan murung karena kondisi di rumah. Biasanya orang tua kita panggil supaya kita tahu keadaan rumah seperti apa,” lanjutnya. 


Atallah yang sedang menggunting kertas


Memperoleh pendidikan adalah hak setiap warga negara, tapi pemerintah layaknya pembawa acara televisi, bisanya omong saja. Menyuruh mendirikan PAUD tapi tidak memberi bantuan sama sekali.

“Tidak ada bantuan dari pemerintah. Sempat Diknas mau memberi Rp. 75.000.000, tapi dia bilang yang akan saya terima cuma Rp. 20.000.000. Lalu kemana Rp. 55.000.000-nya?” cetus Wiwiek kesal. “Katanya yang Rp. 55.000.000 itu untuk anggota dewan. Saya tidak ambil bantuan itu. Nggak mau saya. Neraka nanti”

PAUD Teratai terus bertahan karena dukungan dan bantuan dari orang-orang sekitar. Barang-barang seperti kursi dan seragam batik anak-anak merupakan patungan dari para guru dan bantuan dari donatur.

“Kita semakin kuat dengan keinginan dan semangat teman-teman kecil kita untuk sekolah. Niat dan visi misa kita (guru-guru) sama. Dengan nawaitu, insya Allah, kita bisa,” tegas Wiwiek. (Intan Aprilia)

1 comment: