Melihat Masa
Depan
Pengunjung
tidak banyak datang ke mal di hari kerja. Hanya beberapa orang berlalu lalang
di mal yang terletak di kawasan Alam Sutera itu, dan kebanyakan dari mereka
hanya melintas sekilas di depan stand
tersebut, satu dua orang terdiam untuk membaca banner di depan meja stand,
kemudian berlalu. Tertera “Fortune Teller” dengan huruf yang tercetak besar
berwarna hitam-kuning di bagian paling atas banner
berwarna merah tersebut. Pada latar belakang banner, terdapat gambar bola
kristal yang biasa digunakan oleh peramal.
Hari
itu, Selasa, Graham Wiratama atau yang lebih akrab dipanggil Ata bertugas
sebagai tarot reader bersama dengan
temannya, Randy. Saya menunggu mereka dengan duduk di bangku yang tersedia di stand itu dari jam empat sore sampai jam
enam karena mereka sedang ada janji dengan klien di lantai atas.
Ata
bergaya semi formal, dengan kaos polo putih bergaris hitam, ditutup dengan jas hitam,
dan menggunakan celana berwarna hitam, juga dengan ikat kepala dengan warna
yang sama, tapi dia menggunakan sandal kulit yang biasa dipakai bapak-bapak
sebagai alas kaki. Tubuhnya kurus tinggi, dengan warna kulit sawo matang. Penampilan
dan rupanya sedikit mengingatkan saya akan Yuke, bassis band Dewa. Namun, Ata
menggunakan kacamata hitam berbingkai separo.
Pada
2011, Ata mendirikan Eye Management. Eye Management adalah salah satu manajemen
yang berisi tarot readers di
Indonesia. Pembaca tarot sebetulnya tidak mau dibilang peramal, karena mereka
tidak bisa memprediksi dengan tepat bagaimana kejadian yang akan terjadi di masa
depan atau menerka masalah yang ada seperti layaknya dukun. “Orang Indonesia
tuh susah. Mau enggak mau kita tetap
bilang ramalan, karena mereka belum familiar dengan istilah tarot reader,” keluh Ata.
Membaca
tarot adalah menggunakan pendekatan psikologis dan lebih bersifat konsultasi.
Klien datang membawa masalah, lalu pembaca tarot akan meminta klien memilih
beberapa kartu—tergantung dari pertanyaan—dan mencari solusi dari masalah
tersebut melalui kartu yang telah dipilih oleh klien.
“Kami
tuh kayak tong sampah. Klien datang bawa masalah dan bruk! Dituang deh ke kami
(pembaca tarot).” kata Ata sambil kedua tangannya memperagakan orang yang
sedang menumpahkan isi tong sampah.
Pria
yang berasal dari Semarang ini merupakan lulusan D3 sastra inggris UNDIP. Sempat bekerja sebagai penyiar, Ata merasa
penampilan dirinya kurang menarik bila dibandingkan dengan teman-temannya
sesama penyiar.
“Teman-teman
penyiar penampilannya kayak artis. Walaupun cuma artis lokal Semarang sih...
Tapi yang cowok ganteng-ganteng dan
yang cewek cantik-cantik. Gue jadi mikir, what can I sell dengan penampilan gue yang kayak gini.”
Saat
berjalan-jalan ke Gramedia di tahun 2003, Ata melihat stand sulap. Ia melihat-lihat dan merasa tertarik. “Tapi alat-alat
sulap mahal, jadinya enggak beli,”
ujarnya. Kemudian, ia melihat setumpuk kartu dengan berbagai macam gambar dan
kembali merasa tertarik. Setelah bertanya-tanya kepada si penjaga stand tentang
kartu yang ternyata adalah tarot, ia memutuskan untuk membelinya. “Ada
kartunya, buku manual, dan dvd. Belajarnya dari dvd itu.”
Namun,
ia sempat melupakan tarot karena kartu serta buku manualnya hilang entah
kemana. Selama satu tahun setelah ia berhenti menjadi penyiar, pria yang lahir
dan tumbuh di Semarang ini bekerja serabutan. Mulai dari sales, bekerja di
kehidupan dunia gemerlap, sampai jadi manager band yang sudah keliling
Indonesia. Merasa lelah dengan pekerjaan sebagai manager band, Ata mulai
mencari pekerjaan kantoran, tapi tak kunjung dapat.
Setelah
hampir satu tahun menganggur, tiba-tiba kartu tarot yang sempat hilang itu
muncul dengan sendirinya di meja belajarnya di kamar. “Agak sedikit mistik sih,
pasti ada reasonnya karena gue
percaya enggak ada yang kebetulan di
dunia ini. Kejadian hilangnya juga sama, tiba-tiba hilang begitu saja dan enggak ada orang rumah yang nyentuh.”
“Padahal
awalnya pas hilang gue mengira nyokap yang enggak setuju, karena nyokap
kerja di departemen agama. Gue dibilang menyekutukan Tuhan, musryik, syirik,
apa lah itu segala macamnya,” ujarnya sambil tertawa.
Tarot
berasal dari Italia. Pada awalnya, permainan kartu tersebut bernama Carde da
Trionfi, atau Kartu Kejayaan (Trionfi: berjaya atau menang) dan sampai saat
ini permainan tarot masih terkenal di Eropa. Kartu tarot berjumlah 78 lembar
yang umumnya digunakan untuk kepentingan spiritual atau ramalan nasib. 22 kartu
disebut Arcana Mayor dan 56 kartu disebut Arcana Minor. Set Tarot
yang paling populer adalah Tarot Rider-Waite-Smith
yang diciptakan oleh A.E Waite dan ilustrator Pamela Colman Smith.
Ata
mulanya hanya menjadi tarot kaki lima dan berkeliling Semarang dari tahun 2006
sampai 2007. Ia menggelar lapak di kaki lima untuk membaca tarot. Saat itu
bayarannya hanya Rp. 5.000 per pertanyaan.
Akhirnya,
ia bertemu dengan para pembaca tarot lainnya di suatu acara di kafe pada tahun
2007. Mulailah ia menekuni pembaca tarot sebagai profesi yang serius setelah
belajar lebih lanjut mengenai tarot.
Ibu
dan ayah Ata yang keduanya bekerja di instansi pemerintahan tidak setuju dengan
pekerjaan Ata sebagai pembaca tarot. Kedua orangtuanya berharap Ata akan
bekerja sebagai PNS seperti mereka.
“Orangtua
mulai enggak komentar lagi ketika gue kerja sebagai tarot reader di website tarot yang berbasis di US. Sistemnya, klien mengirimkan
masalahnya via email. Per satu email yang kita dibayar US$ 30.000,” kata pria
berusia 30 tahun ini dengan senyum lebar.
Menurut
Randy, temannya sesama pembaca tarot, Ata adalah pria yang hebat karena ia baru
datang ke Jakarta pada tahun 2011 tapi dengan usaha dan perjuangannya, dalam
waktu setahun ia sudah sukses sebagai pembaca tarot. “Dalam waktu setahun ia
sudah punya banyak events, sedangkan
teman-teman lainnya yang sudah menekuni profesi ini sejak lama, masih
begitu-begitu saja. Saya juga senang sama Ata karena dia orangnya blak-blakan,
kalo enggak suka ya dia bilang. Enggak ngomongin orang di belakang. Tapi
dia juga enggak pelit pujian kalo dia
suka.”
Dunia
tarot juga mengantarkan Ata untuk bertemu pasangan hidupnya. Mereka bertemu di
klub tarot dan menikah pada 11 September 2011. Kini mereka telah memiliki
seorang anak perempuan berusia 8 bulan.
Banyak pengalaman-pengalaman lucu yang dihadapi oleh Ata selama menjadi pembaca tarot dan semuanya berhubungan dengan klien-kliennya. Dari mulai yang selingkuh, sampai klien yang ternyata penyuka sesama jenis.
“Orangnya
kekar, gede banget badannya. Eh pas
sudah duduk, dia bisik-bisik, ‘Mas, gimana nih hubungan gue sama cowok gue’,”
katanya meniru sambil tertawa mengingat kejadian itu.
Masalah
yang selalu dialami Ata adalah ketika klien merasa ketergantungan dan
mendewakan tarot. Klien merasa apa pun yang mereka lakukan, harus dilihat
bagaimana keadaan kartunya terlebih dahulu. “Ada bapak-bapak nelpon, ‘Mas Ata,
saya lagi di Carefour, di depan saya ada tivi LG dan Samsung. Saya harus beli
yang mana ya? Coba buka kartunya dulu’,” tiru Ata dengan jengkel. “Karena sudah
sebal, gue asal saja ngomong, gue suruh beli dua-duanya. Eh benaran
lho dibeli dua-duanya,” katanya sambil memutar bola matanya.
Pada
awal Ata menjalani profesi ini pun ia sempat memanfaatkannya dengan cara
memacari klien-klien wanitanya. “Kalau yang cantik-cantik, gue deketin, terus jadi
pacaran. Sekarang sih sudah enggak,”
kata pria yang senang mengobrol ini sambil tertawa.
Tidak
diduga, pendapatan para pembaca tarot sangat besar. Apalagi bila mereka
mendapat klien yang meminta dibaca secara pribadi. Tarif perjamnya adalah Rp.
500.000 untuk satu orang. Dalam sebulan, rata-rata mereka bisa mendapatkan Rp.
15.000.000 dan minimal Rp. 1.000.000 per hari bila membuka stand di mal atau di
kampus-kampus.
“Di
profesi ini, gue jadi bisa belajar
banyak tentang orang. Ternyata sifat dan pengalaman orang tuh macam-macam
bahkan banyak yang aneh. Dari curhatan-curhatan mereka, gue juga jadi bisa ikut belajar.”
Saat
ditanya mengenai kegiatan lain selain menjadi pembaca tarot, ia dan Randy
tertawa dan mengatakan bahwa ia hanya menjalani pekerjaan sebagai pembaca
tarot. “Kita sih pengacara. Pengangguran banyak acara,” candanya sambil tertawa
terbahak.
Banyak
orang terutama pebisnis, ibu-ibu, dan remaja yang menyukai tarot. Bahkan sampai
terlalu mempercayainya dan menjadikannya pedoman dalam menjalani hidup. Namun,
Ata tidak setuju akan hal itu. “Pokoknya jangan pernah menggantungkan nasib di
tarot. Kita (pembaca tarot) cuma bisa melihat kesempatan atau perubahan yang kemungkinan
akan terjadi di kehidupan klien. Tapi, pada akhirnya, nasib mereka harus tetap
mereka yang menentukan dengan kerja keras dan tetap berdoa kepada Tuhannya
masing-masing,” tukas Ata tegas.
+++
sumber sejarah singkat Tarot: http://id.wikipedia.org/wiki/Kartu_Tarot