Make
a Difference
Puluhan
orang berjalan beriringan membawa 49 peti mati sambil berteriak-teriak, mereka
juga hendak melempar peti mati tersebut melewati gerbang gedung parlemen.
Seorang pria diantara mereka pun maju ke depan gerbang dan berteriak ke arah
demonstran, “Jangan lempar peti matinya!”
Massa
mengacuhkannya dan terus berteriak-teriak. Si pria tampak lelah mengatur massa
sebanyak itu, kemudian ia kembali berbicara kepada demonstran, kali ini
menggunakan toa sebagai pengeras suara. “Kita datang untuk meninggalkan peti
mati-peti mati ini di depan gerbang. Jangan lempar peti matinya, tidak perlu
ada kekerasan. Kita akan memperbaiki situasi dengan pilihan kita. Kita bukanlah
orang yang brutal. Kita tidak kasar. Kita ingin revolusi pemungutan suara yang damai.”
Boniface
Mwangi, foto jurnalis yang pernah secara langsung menyaksikan kekacauan di
Kenya, sekarang berjuang sebagai aktivis. Dia dengan mantap memimpin massa yang
berbondong-bondong melakukan demonstrasi menuju gedung parlemen. Ia sempat kewalahan
mengatur orang-orang yang berjalan dengan terlalu cepat dan berteriak mengenai
ketidakadilan parlemen, juga tentang hak-hak yang seharusnya mereka peroleh.
Padahal, pria berusia 29 tahun ini menginginkan demonstrasi damai tanpa
kericuhan.
Sehari
sebelumnya, Boniface dan timnya menyiapkan 49 peti mati di halaman belakang
rumahnya. 49 peti mati tersebut mewakili kekebalan hukum yang dinikmati oleh
politisi sejak kemerdekaan. Masing-masing peti mati berwarna hitam tersebut bertuliskan
skandal di dalam sejarah Kenya.
Boniface
muak dengan kepemimpinan Mwai Kibaki sebagai presiden Kenya. Sudah terlalu
banyak perbuatan tercela yang terjadi dalam masa pimpinan Kibaki; pembunuhan,
perampasan lahan, penjarahan, korupsi, dan perkosaan. Parlemen yang mestinya
berjuang untuk rakyat, malah merampas kebahagiaan rakyat dengan kejahatan yang
mereka lakukan.
Sebelum
melakukan demonstrasi di gedung parlemen dengan peti mati, Boniface dan
teman-temannya juga sempat melakukan aksi ilegal, yaitu menggambar grafiti yang
dibuat di dinding.
Aksi
grafiti pertama dibuat pada malam hari pukul 22.00 oleh lima orang pelukis
grafiti. Mereka kekurangan alat, hanya terdapat satu tangga untuk lima orang. Namun
walaupun mereka hanya memunyai satu tangga, mereka tetap bertekad membuat
grafiti.
Dengan
waktu yang terbatas, mereka pergi menggunakan mobil menuju pusat Nairobi
berbekal kaleng-kaleng cat pilok, mesin proyektor, dan satu tangga. Mereka memulai melukis grafiti menggunakan
pilok setelah proyektor menampilkan desain yang telah mereka buat sebelumnya.
Tujuan
Boniface membuat grafiti di tempat yang akan dilalui oleh banyak orang adalah
untuk menyadarkan mereka tentang situasi yang selama ini terjadi. “Kenya adalah
salah satu negara terindah di dunia, tapi orang Kenya pengecut. Kita mengeluh
tentang korupsi, kekebalan hukuman, perampasan lahan, tapi kita tidak berbuat
apa-apa. Jadi, kita tinggalkan zona nyaman kita untuk melanggar hukum dan
menunjukan kebenaran,” ujar Boniface mantap.
Pada
grafiti tersebut, parlemen dilambangkan sebagai burung pemakan bangkai yang nyaman
duduk di singgasana dan dengan lahapnya merampas hak-hak rakyat, namun burung
bangkai tersebut tetap santai karena para idiot akan tetap memilih mereka. Selain
burung bangkai, grafiti itu juga bertuliskan kualifikasi pemimpin yang
diinginkan rakyat Kenya.
Orang-orang
yang lewat pun terhenti untuk melihat grafiti tersebut. Banyak dari mereka yang
tertegun, juga tertawa nyinyir
melihatnya karena mereka tahu semua yang terdapat pada grafiti itu adalah
fakta. Terutama pada bagian ‘para idiot akan tetap memilih’. Mereka sadar bahwa
mereka lah orang-orang idiot itu.
Seminggu
kemudian, grafiti ilegal itu menjadi berita nasional. Boniface sebagai orang
yang bertanggung jawab atas grafiti tersebut dipanggil ke kantor polisi, ia pun
mengajak orang-orang untuk mendukung pelukis-pelukis grafiti yang dengan berani
menggambarkan keadaan Kenya dengan sebuah seni. Dengan banyaknya dukungan, ia
pun bebas dari hukuman.
Selain
grafiti, Boniface juga membuat pameran dari foto-foto jurnalistiknya yang
berhasil menangkap kekacauan di Kenya. Ia membuat pameran itu dengan tujuan
untuk membangkitkan kemarahan rakyat Kenya akan kejahatan-kejahatan yang
dilakukan oleh para burung bangkai. Pro dan kontra terus ada selama pameran
berlangsung. Sampai akhirnya pameran foto Boniface dilarang untuk berdiri
karena terdapat foto presiden yang sedang menangis. Foto itu dianggap terlalu
sensitif dan sudah keterlaluan.
Demonstrasi
menggunakan 49 peti mati adalah aksi terbesar yang dilakukan oleh Boniface. Sesuai
rencana, massa meletakkan peti mati di depan gerbang gedung parlemen. Namun, 15
menit setelah bubar. Semua peti mati diangkat oleh petugas.
Boniface
siap kecewa. Tindakan yang mereka lakukan mungkin tidak akan memengaruhi
apapun. Namun mereka tidak kehilangan harapan karena perubahan tidak terjadi
hanya dalam jangka waktu semalam. “Mungkin yang saya lakukan sekarang akan
diselesaikan oleh anak saya,” kata Boniface.
Pria
berkulit hitam ini juga mengatakan bahwa mantra hidupnya telah berubah. “Saya
merubah mantra hidup saya. Dulu, mantra saya adalah saya melihat hidup melalui
lensa kamera. Sekarang, mantra hidup saya adalah saya hidup untuk membuat
perubahan.” Perubahan yang dilakukan Boniface adalah untuk negara yang sangat
ia cintai, Kenya.